Jeratan Rentenir dan Perlindungan Hukum: Studi Kasus di Karawang



Suara Hukum.live - Di tengah himpitan ekonomi, tak sedikit masyarakat yang terpaksa mencari pinjaman ke rentenir. Namun, praktik ini seringkali berujung pada jeratan utang yang tak berkesudahan, seperti yang dialami keluarga TH, warga Rengasdengklok, Karawang.

TH, yang meminjam Rp 2 juta dari koperasi Hmd di Desa Kutakarya, Kecamatan Kutawaluya, Karawang, kini terbelit utang yang terus membengkak. Niat baiknya untuk mencicil Rp 600 ribu kandas akibat bunga yang tak wajar dan sistem bunga berbunga yang diterapkan.

"Saya sudah niat baik untuk mencicil, tapi bunganya sangat tinggi. Setiap bulan, bunga terus berjalan, bahkan ketika pokok pinjaman belum lunas," ungkap TH dengan nada putus asa.

Tak hanya itu, TH juga mengaku mendapat ancaman dari pihak koperasi saat penagihan. "Mereka datang ke rumah dengan nada kasar dan mengancam. Saya jadi takut dan tidak tenang," tuturnya.

Kasus yang dialami TH hanyalah satu dari sekian banyak contoh praktik rentenir berkedok koperasi yang menjerat masyarakat. Praktik ini berpotensi melanggar berbagai ketentuan hukum, di antaranya:

  • Penerapan bunga yang tidak wajar: Bunga yang sangat tinggi dapat dianggap sebagai praktik riba dan melanggar prinsip keadilan dalam perjanjian pinjam-meminjam.
  • Perjanjian yang menekan: Perjanjian pinjam-meminjam yang tidak seimbang, di mana peminjam tidak memiliki posisi tawar, dapat dianggap cacat hukum.
  • Penagihan dengan ancaman: Tindakan penagihan utang yang disertai ancaman dapat melanggar hukum pidana.
  • Pelanggaran prinsip dasar perkoperasian: Koperasi seharusnya beroperasi berdasarkan prinsip gotong royong dan keadilan, bukan mencari keuntungan sebesar-besarnya

Praktik rentenir yang meresahkan ini membutuhkan tindakan tegas dari aparat penegak hukum. Perlindungan terhadap masyarakat, terutama mereka yang rentan secara ekonomi, harus menjadi prioritas.

Istilah "bank gelap" tidak dikenal dalam Undang-Undang Perbankan. Namun, praktik menghimpun dana dari masyarakat tanpa izin dari Bank Indonesia dilarang oleh Pasal 46 ayat (1) UU No. 10 Tahun 1998. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenakan pidana penjara dan denda yang signifikan.

Penting untuk dicatat bahwa larangan ini terutama ditujukan pada penghimpunan dana dari masyarakat, bukan pada individu yang meminjamkan uang dengan bunga. Namun, jika praktik rentenir tersebut melibatkan penghimpunan dana dari banyak orang tanpa izin, hal ini dapat dianggap sebagai pelanggaran.

Pemaksaan dalam penagihan hutang dapat melanggar hukum pidana. Tindakan seperti ancaman kekerasan, intimidasi, atau perbuatan tidak menyenangkan lainnya dapat dikenakan sanksi pidana.

Pasal 335 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur tentang perbuatan tidak menyenangkan, yang dapat mencakup tindakan pemaksaan dalam penagihan hutang.

Selain itu, tindakan kreditur yang memaksa debitur untuk membayar utang dengan ancaman kekerasan melanggar Pasal 355 ayat (1) KUHP.

"Kami akan terus mengawal kasus ini dan mendesak pihak berwajib untuk bertindak tegas. Masyarakat juga harus berani melaporkan praktik rentenir yang merugikan," ujar seorang aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang mendampingi keluarga TH.

Kasus keluarga TH menjadi potret buram praktik rentenir yang merusak kehidupan masyarakat. Diperlukan sinergi dari berbagai pihak untuk memberantas praktik ini dan melindungi masyarakat dari jeratan utang yang tak berkesudahan.

Jika merasa terancam atau mengalami tindakan pemaksaan, segera laporkan kepada pihak berwajib.