Putusan PT Medan Bebaskan Selamet: Sorotan Tajam atas Paradigma Korupsi Kredit dan Masa Depan Perbankan



Suara  Hukum.com,  Medan, 21 Juli 2025 – Angin segar keadilan berembus kencang dari Pengadilan Tinggi Medan. Dalam putusan Nomor 22/PID.SUS-TPK/2025/PT MDN yang dibacakan pada 28 April 2025, Pengadilan Tinggi Medan membebaskan Selamet, terdakwa kasus dugaan korupsi pengajuan kredit di Bank Sumut Cabang Serdang Bedagai. Keputusan ini bukan hanya membatalkan vonis sebelumnya dari Pengadilan Tipikor Medan, melainkan juga secara tegas menyatakan bahwa perbuatan terdakwa terbukti, namun bukan merupakan tindak pidana korupsi.



Putusan ini, yang bersifat inkrah, sontak memantik diskusi sengit di kalangan praktisi hukum dan masyarakat luas. Bagaimana tidak, Selamet yang sempat mendekam di tahanan sejak 9 Desember 2024 hingga awal Mei 2025, kini dipulihkan seluruh haknya, termasuk kedudukan, kemampuan, dan harkat martabatnya.


Pemerhati hukum di Medan, Aji Lingga SH, tak kuasa menahan diri untuk menyuarakan ketidakadilan yang dirasakannya. "Kalau debitur dibebaskan karena dinilai bukan pidana, lalu kenapa pejabat bank tetap dihukum? Ini tidak masuk akal dan sangat tidak adil,” tegas Aji, Senin (21/7).


Pernyataan Aji merujuk pada nasib dua terdakwa lain dalam kasus serupa, yakni Tengku Ade Maulanza dan Zainur Rusdi, yang berstatus pejabat bank. Harapan publik pun mencuat, menuntut agar asas keadilan diterapkan secara setara. Jika pelanggaran prosedur administratif dalam pengajuan kredit tidak otomatis dikategorikan korupsi bagi debitur, mengapa berbeda untuk pejabat bank?


Putusan Pengadilan Tinggi Medan secara gamblang menegaskan bahwa pelanggaran prosedur administratif tidak serta-merta berujung pada tindak pidana korupsi. Poin krusialnya terletak pada niat jahat (mens rea) dan kerugian negara yang nyata.


Aji Lingga berpendapat, penyelesaian kredit macet sejatinya adalah ranah keperdataan, bukan pidana. "Keputusan pemberian kredit saat itu dilakukan sesuai prosedur, lengkap dengan agunan sah. Jadi harusnya tidak ada pidana,” ujarnya optimis. Baginya, solusi terbaik adalah eksekusi agunan, bukan kriminalisasi.


Kasus ini sontak memicu kekhawatiran serius di sektor perbankan. Para profesional bank was-was jika kredit bermasalah selalu berujung pidana, maka keberanian mereka dalam mengambil keputusan akan luntur.


“Kalau ini jadi preseden, banyak pejabat bank akan takut menyalurkan kredit, dan ini bisa menghambat fungsi intermediasi perbankan,” ungkap Aji. Dampak domino yang lebih luas adalah masyarakat juga akan ragu untuk mengajukan kredit ke bank pemerintah, khususnya Bank Sumut, jika setiap kredit macet berpotensi dipidana.


Dukungan moral terhadap Tengku Ade pun terus mengalir, bahkan rekan sejawatnya berencana audiensi dengan tokoh-tokoh daerah untuk menyuarakan keadilan. Mereka mendesak agar asas keadilan diterapkan setara: "Kalau nasabah dibebaskan karena ini perkara perdata, maka pejabat bank juga seharusnya bebas. Jangan sampai hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas.”


Sidang terhadap Tengku Ade dan Zainur dijadwalkan berlanjut pekan depan dengan agenda pembacaan nota pembelaan (pledoi). Mata publik akan terus tertuju pada kasus ini, menanti apakah keadilan akan berpihak pada semua pihak, atau justru menciptakan preseden yang bisa mengubah lanskap perbankan nasional.