Suara Hukum.Live, KARAWANG – Keharmonisan yang tampak di permukaan Perumahan Lemah Mulya Indah, Majalaya, Karawang, pecah berkeping-keping pada Kamis dini hari, 12 Juni 2025. Sebuah rumah tangga yang semula disangka baik-baik saja, kini menjadi saksi bisu tragedi mengerikan: Lusi Febriani (25), seorang istri, meregang nyawa setelah ditusuk 11 kali oleh suaminya sendiri, BP (27), yang kemudian mencoba mengakhiri hidupnya sendiri. Peristiwa ini bukan hanya pembunuhan, melainkan cerminan gelap dari fenomena gunung es kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang kian meresahkan.
Pukul 01.30 WIB, keheningan malam di Perumahan Lemah Mulya Indah dikejutkan oleh jeritan pilu. Teriakan minta tolong dari kediaman Lusi dan BP menusuk telinga tetangga. Beberapa warga, yang dipimpin oleh istri seorang pelapor, bergegas mendatangi sumber suara. Pemandangan di dalam rumah sontak membekukan darah: Lusi tergeletak tak bernyawa, tubuhnya bersimbah darah dengan luka tusukan di leher, lengan, kepala, perut, dan dada. Di sampingnya, BP terbaring lemah, pisau berlumuran darah masih tergenggam erat di tangannya yang terluka sayatan di leher dan pergelangan tangan.
Wakapolres Karawang, Kompol Rizky Adi Saputro, dalam keterangannya pada Kamis, 3 Juli 2025, mengungkap detail awal penyelidikan yang mengejutkan. BP, sang suami, ternyata telah menyiapkan pisau, menyembunyikannya di balik celana dengan niat bunuh diri di hadapan istrinya.
"Saat terjadi cekcok hebat terkait dugaan perselingkuhan Lusi, emosi BP meledak. Ia awalnya mencoba menusuk lehernya sendiri, namun ketika Lusi berusaha melerai, BP justru berbalik menyerang istrinya dengan brutal," jelas Kompol Rizky.
Dalam kobaran amarah yang tak terkendali, BP menghujamkan pisau ke tubuh Lusi sebanyak 11 kali. Setelah sang istri tak berdaya dan dinyatakan meninggal di tempat akibat pendarahan parah, BP kembali mencoba bunuh diri dengan menusuk dadanya sendiri dan menyayat pergelangan tangannya. BP sempat dilarikan ke rumah sakit dalam kondisi kritis, sementara Lusi telah pergi untuk selamanya.
Polisi telah mengamankan sejumlah barang bukti krusial di lokasi kejadian: satu pisau hitam bergagang kayu yang menjadi alat pembunuhan, kaos dan celana berlumuran darah, selimut bernoda darah, serta buku nikah pasangan tersebut.
BP kini menghadapi ancaman hukuman berlapis. Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan dengan ancaman hukuman 15 tahun hingga seumur hidup, serta Pasal 44 Ayat (3) KUHP atau Pasal 351 Ayat (3) KUHP tentang KDRT dengan korban meninggal, siap menjeratnya. Kasus ini menjadi sorotan serius bagi penegakan hukum terhadap tindak KDRT.
Tragedi ini meninggalkan duka mendalam dan kejutan di kalangan keluarga serta tetangga. "Mereka terlihat harmonis, kami tak menyangka ada masalah sebesar ini," ujar seorang tetangga, mencerminkan betapa seringnya kasus KDRT tersembunyi di balik tirai privasi rumah tangga.
Warga setempat pun mendesak aparat penegak hukum untuk menindak tegas kasus KDRT yang kerap terjadi namun sering terabaikan. Ini adalah panggilan untuk sistem peradilan agar lebih proaktif dalam melindungi korban dan memberikan efek jera kepada pelaku.
Polres Karawang masih terus mendalami motif pasti di balik pembunuhan tragis ini, termasuk mengklarifikasi dugaan perselingkuhan yang disebut-sebut memicu amuk BP. Pelaku sendiri masih dalam perawatan intensif, menanti momen untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan hukum.
Kasus Lusi Febriani adalah pengingat pahit bahwa KDRT bukanlah masalah pribadi, melainkan kejahatan serius yang membutuhkan perhatian dan penanganan komprehensif dari semua pihak. Sudah saatnya kita lebih peka terhadap tanda-tanda KDRT di sekitar kita, agar tragedi serupa tak lagi terulang.