Pintu Tertutup di Kantor Desa Pancakarya: Pakar Hukum Ingatkan Potensi Pidana UU Tipikor

 


Suara Hukum.Live, KARAWANG — Warga Desa Pancakarya, Kecamatan Tempuran, Karawang, bukannya menggelar demonstrasi dengan teriakan atau yel-yel. Mereka mendatangi kantor desa dengan bekal yang lebih kuat: hak konstitusi dan pasal-pasal undang-undang. Aksi

yang berlangsung pada 14 Agustus 2025 ini secara halus menguji nyali transparansi kepala desa, yang sayangnya, tak terlihat di lokasi.



Aksi damai ini dilatarbelakangi oleh kebutuhan warga untuk mendapatkan akses informasi terkait pengelolaan dana desa. Namun, alih-alih mendapatkan jawaban, mereka justru mendapati kantor desa dalam kondisi senyap. Pintu informasi terkunci rapat, tanpa ada satu pun perwakilan yang muncul untuk menemui warga.


"Kepala desa adalah pejabat publik. Mengelola miliaran dana desa bukan urusan pribadi," ujar April, pendiri Garasi Keadilan dari Abby Justice Law Firm, menanggapi situasi tersebut. Ia menilai, tindakan menutup informasi bukan sekadar masalah etika, melainkan berpotensi melanggar hukum

April menegaskan bahwa transparansi kepala desa bukanlah pilihan, melainkan kewajiban yang diatur oleh berbagai undang-undang. Mulai dari UU Desa yang secara spesifik memerintahkan transparansi pengelolaan dana, hingga UU Keterbukaan Informasi Publik yang mengikat semua badan publik. Bahkan, jika ada indikasi penyalahgunaan wewenang, UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dapat menjadi payung hukum yang menjerat.


"Pasal 3 UU Tipikor jelas menyebutkan penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara dengan ancaman 20 tahun penjara. Sementara Pasal 8 mengatur penggelapan dalam jabatan dengan ancaman 15 tahun penjara," papar April dengan nada lugas, mengutip pasal-pasal yang dingin namun tajam.


Ia juga menekankan bahwa kelalaian pun dapat berakibat fatal. "Tidak hadir untuk memberi informasi yang diminta warga bisa dianggap menghalangi hak publik. Secara hukum, ini bukan sekadar ketidakhadiran, melainkan potensi pelanggaran," tambahnya.


Dalam aksi ini, warga memilih jalur yang tertib dan berjenjang. Mereka meminta Camat Tempuran untuk memfasilitasi dialog dengan kepala desa. Sesuai UU Pemerintahan Daerah, camat memang memiliki peran sebagai pembina dan pengawas. Namun, April mengingatkan bahwa peran tersebut harus diikuti tindakan nyata. "Pembinaan tanpa tindakan hanyalah basa-basi!" tegasnya.


Jika camat tetap diam, warga sudah memiliki rencana lain. Mereka siap untuk melaporkan dugaan penyimpangan ke Inspektorat. Jika ditemukan indikasi pelanggaran, aparat penegak hukum—mulai dari kepolisian hingga kejaksaan—wajib turun tangan.


Aksi warga Pancakarya ini menjadi pengingat bagi para pejabat publik bahwa uang negara bukanlah warisan keluarga, dan jabatan bukanlah perisai. Mereka tidak menuduh siapa pun, hanya memaparkan pasal-pasal hukum yang berpotensi menjerat. Pertanyaannya kini bukan lagi "apakah warga punya dasar hukum?" melainkan "apakah pejabat siap diuji oleh sumpah yang pernah mereka ucapkan sendiri?".


Di Pancakarya, hari ini, warga telah menunjukkan bahwa mereka tahu cara mengetuk—bahkan jika pintu yang harus diketuk adalah pintu hukum.

Penulis : Red