Suara Hukum.live - Kasus dugaan pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur kembali mencuat di Karawang. Siti Rokayah melaporkan seorang oknum guru ngaji berinisial SPN atas dugaan tindakan cabul terhadap anaknya. Laporan dengan nomor LP/B/1595/XII/2024/SPK/POLRES KARAWANG/POLDA JAWA BARAT tertanggal 25 Desember 2024 ini masih dalam proses penyelidikan pihak kepolisian.
Laporan Siti Rokayah mencantumkan dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perppu No 1 Tahun 2018, perubahan kedua atas UU No
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 UU
17/2016.
Peristiwa ini diduga terjadi di sebuah musala di Adiarsa Barat. SPN, yang
merupakan guru ngaji, dituduh melakukan perbuatan cabul terhadap anak korban.
Perbuatan ini terungkap ketika korban menolak untuk mengaji dan meminta pindah
tempat mengaji. Setelah didesak, korban mengaku sering dipeluk dan dicium dari
belakang oleh SPN. Akibatnya, korban mengalami trauma dan orang tua korban
melaporkan kejadian ini ke polisi.
Orang tua korban, yang didampingi awak media, mengungkapkan bahwa korban
bukan satu-satunya. "Ada empat korban lain yang juga mengaku mengalami
pelecehan serupa," ujar orang tua angkat korban kepada wartawan. Mereka
bahkan menunjukkan rekaman suara dari keempat korban sebagai bukti.
Pakar hukum tata negara dan guru besar, Prof. Dr. H. M. Hadin Muhjad, S.H.,
M.Hum., menegaskan bahwa kasus pelecehan seksual terhadap anak tidak bisa
dihentikan proses hukumnya, meskipun ada upaya damai atau pencabutan laporan.
"Kasus seperti ini bukan delik aduan," tegasnya.
Prof. Hadin juga menyinggung Peraturan Kapolri yang mengatur Restorative
Justice (RJ). Menurutnya, penegakan hukum tetap menjadi kewenangan pihak
kepolisian.
Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana
Berdasarkan Keadilan Restoratif membatasi penerapan RJ pada kasus-kasus
tertentu. Pasal 5 ayat (2) menyebutkan bahwa RJ tidak berlaku untuk tindak
pidana yang meresahkan masyarakat, terorisme, ancaman hukuman mati atau penjara
seumur hidup, penjara minimal 5 tahun, dan tindak pidana korporasi.
Pelecehan seksual terhadap anak termasuk dalam kategori tindak pidana serius
dengan dampak besar bagi korban. Oleh karena itu, sesuai Peraturan Kapolri,
kasus ini tidak dapat diselesaikan melalui mekanisme RJ.
Prof. Hadin menegaskan bahwa restorative justice tidak dapat diterapkan pada
kasus pelecehan anak di bawah umur. Penegak hukum wajib memproses kasus ini
sesuai dengan aturan yang berlaku.
Senada dengan Prof. Hadin, Herman Hofi juga menekankan bahwa undang-undang
telah mengatur perlindungan anak dan proses hukum bagi pelakunya. "Bukan
untuk didamaikan, apalagi jika perdamaian itu dengan dalih orang tua korban
mencabut laporan," katanya.
Pelaku dapat dijerat dengan Pasal 82 Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2016
tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman minimal 5 tahun dan maksimal
15 tahun penjara.
Awak media akan terus mengawal kasus ini dan meminta Polres Karawang,
khususnya Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), untuk menindaklanjuti
perkara ini, meskipun ada upaya perdamaian dari pihak pelaku.