Suara Hukum.live - Jembatan Cicangor, penghubung vital antara Pangkalan dan wilayah industri Karawang, kini hanya menyisakan puing dan retakan menganga. Amblesnya pondasi hingga 50 cm bukan sekadar kerusakan infrastruktur, melainkan simbol dari abainya pengawasan dan dampak eksploitasi industri yang tak terkendali.
Kerusakan Jembatan Cicangor tidak terjadi
dalam semalam. Data lalu lintas menunjukkan lonjakan drastis kendaraan berat
pengangkut hasil tambang dari Bogor dan aktivitas ilegal di Pegunungan
Sanggabuana sejak beberapa tahun terakhir. "Kami telah berulang kali
melaporkan kondisi ini, tetapi tidak ada tindakan nyata," ungkap seorang
warga Pangkalan yang enggan disebutkan namanya.
Keberadaan pabrik semen asing di Karawang,
yang mengandalkan jalur Cicangor, memicu pertanyaan kritis: apakah pembangunan
industri sebanding dengan kerusakan infrastruktur dan risiko bagi masyarakat?
"Jalur ini menjadi urat nadi industri, tetapi juga biang keladi
kerusakan," ujar seorang ahli transportasi yang kami wawancarai.
Kerusakan Jembatan Cicangor bukan hanya
masalah teknis, tetapi juga pelanggaran hukum yang nyata diantaranya UU No.
38 Tahun 2004 tentang Jalan: Pemerintah lalai dalam pemeliharaan
infrastruktur vital.
UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup: Dampak
lingkungan dari aktivitas pertambangan dan industri diabaikan.
UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan: Pengawasan kendaraan berat yang melintas
sangat lemah.
Perda Kabupaten Karawang No. 12 Tahun 2019 dan
Perbup Karawang No. 17 Tahun 2020: Respons
terhadap potensi bencana dan penggunaan anggaran darurat terkesan lambat.
Tim investigasi kami menemukan indikasi kuat
adanya praktik pembiaran dan kurangnya koordinasi antarinstansi terkait.
"Ada dugaan kuat bahwa kepentingan industri lebih diutamakan daripada
keselamatan publik," ungkap seorang sumber di pemerintahan daerah.
Masyarakat Karawang menuntut tindakan tegas:
penutupan permanen jalur penghubung ke pabrik semen, audit menyeluruh terhadap
izin pertambangan, dan perbaikan infrastruktur yang transparan. "Kami
tidak akan tinggal diam. Jika perlu, kami akan menempuh jalur hukum,"
tegas seorang tokoh masyarakat.