Suara Hukum.live - Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) Pangkalan, jantung ekosistem Karawang, kembali menjadi sorotan. Ketua DPRD Karawang, H. Endang Sodikin, dalam diskusi publik Masyarakat Karawang Bersatu (MKB) pada Sabtu (15/3/2025), berjanji memperluas area perlindungan KBAK dari 1.212 hektare menjadi 1.900 hektare melalui revisi Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Janji ini muncul di tengah kekhawatiran publik akan ancaman industri tambang yang mengintai kawasan karst.
Janji Ketua DPRD Karawang ini bukan tanpa
alasan. KBAK Pangkalan menghadapi ancaman serius dari aktivitas pertambangan
yang berpotensi merusak ekosistem dan sumber air. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945
dan PP No. 26/2008 telah jelas mengatur bahwa sumber daya alam, termasuk
kawasan karst, harus dilindungi dan dikelola untuk kesejahteraan rakyat. Namun,
implementasi di lapangan seringkali bertolak belakang.
Pemerintah Kabupaten Karawang telah
melayangkan surat kepada Pemprov Jabar untuk meninjau ulang Wilayah Izin Usaha
Pertambangan (WIUP) di KBAK Pangkalan. Langkah ini patut diapresiasi, namun
perlu diiringi dengan tindakan nyata. Publik menuntut transparansi dalam proses
perizinan dan penegakan hukum terhadap pelanggaran lingkungan.
Diskusi publik MKB menjadi wadah bagi berbagai
elemen masyarakat, termasuk mahasiswa dan pegiat lingkungan, untuk menyuarakan
kepedulian mereka. Beno, koordinator diskusi MKB, menegaskan bahwa kelestarian
Karst Pangkalan adalah harga mati. Ia menuntut peran aktif masyarakat dalam
pembuatan Perda RTRW.
Analogi yang disampaikan dalam diskusi,
"karst sebagai spons raksasa yang menyerap dan menyimpan air, sedangkan
tambang adalah pisau yang merobeknya," menggambarkan dengan jelas betapa
rapuhnya ekosistem karst. Tanpa perlindungan yang memadai, Karawang bisa
kehilangan sumber air dan menghadapi bencana ekologis.
Janji perlindungan KBAK tidak akan berarti
banyak tanpa pengawasan ketat dan partisipasi aktif masyarakat. Publik harus
mengawal proses revisi Perda RTRW dan memastikan bahwa janji yang diucapkan
benar-benar diwujudkan.
Di satu sisi, aktivitas pertambangan dapat
memberikan kontribusi ekonomi. Namun, di sisi lain, kerusakan lingkungan yang
ditimbulkan dapat berdampak jangka panjang dan merugikan masyarakat luas.
Diperlukan keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan kelestarian lingkungan.