Suara Hukum.Live -Masyarakat tionghoa menggelar acara festifal Peh Cun berkerjasama dengan dinas pariwisata bertempat di klenteng toparev. Sabtu (31/05/2025)
Acara ini menarik perhatian masyarakat umum dari berbagai latar belakang etnis. Bakcang menjadi makanan yang akrab tidak hanya di kalangan Tionghoa, tetapi juga di kalangan masyarakat Indonesia lainnya, menunjukkan akulturasi budaya yang harmonis.
dikatakan Ki yayang, Peh Cun berakar kuat pada kisah tragis seorang penyair dan menteri patriotik dari negara Chu di zaman Negara-negara Berperang (475-221 SM), bernama Qu Yuan. Qu Yuan dikenal karena integritasnya, kesetiaannya kepada negara, dan nasihat bijaknya kepada raja. Namun, karena intrik dan fitnah dari pejabat korup lainnya, ia diasingkan. Ketika ia mendengar bahwa ibu kota Chu telah jatuh ke tangan negara Qin, Qu Yuan yang diliputi kesedihan mendalam dan rasa putus asa, melemparkan dirinya ke Sungai Miluo sebagai bentuk protes dan pengorbanan diri.
Masyarakat Chu yang mencintai Qu Yuan segera bergegas mencari tubuhnya di sungai dengan perahu. Mereka juga melemparkan bakcang (nasi ketan yang dibungkus daun bambu) dan telur ke dalam air untuk mencegah ikan dan roh jahat memakan tubuh Qu Yuan. Dari sinilah tradisi balap perahu naga dan menyantap bakcang bermula, sebagai penghormatan abadi atas pengorbanan dan kesetiaan Qu Yuan.
dikatakannya tradisi Menyantap Bakcang: Bakcang, atau zongzi dalam bahasa Mandarin, adalah makanan khas yang wajib ada saat Peh Cun. Nasi ketan yang diisi dengan daging babi, jamur, telur asin, kacang-kacangan, dan bahan lainnya ini dibungkus rapi dalam daun bambu dan dikukus. Bentuknya yang menyerupai piramida atau kerucut diyakini berasal dari upaya masyarakat mencegah ikan memakan tubuh Qu Yuan dengan melemparkan bungkusan nasi ke sungai. Proses pembuatan bakcang seringkali menjadi momen kebersamaan keluarga, di mana generasi tua mengajarkan resep dan teknik membungkus kepada generasi muda
Peh Cun menjadi pengingat akan pentingnya menjaga keragaman budaya dan menghargai warisan nenek moyang. Festival ini tidak hanya menjadi perayaan bagi etnis Tionghoa, tetapi juga menjadi bagian dari kekayaan budaya bangsa Indonesia yang majemuk.
Di tengah arus globalisasi, Peh Cun tetap relevan. Lebih dari sekadar perayaan tahunan, Peh Cun mengajarkan kita tentang nilai-nilai luhur seperti patriotisme, integritas, pengorbanan, dan semangat persatuan untuk selalu menjunjung tinggi kebenaran dan tidak mudah menyerah di hadapan ketidakadilan.
Perayaan Peh Cun juga menjadi jembatan antar-generasi, di mana nilai-nilai dan tradisi diwariskan dari orang tua ke anak cucu. Ini adalah waktu untuk berkumpul, mempererat tali silaturahmi, dan merenungkan makna dari warisan budaya yang tak ternilai harganya. Peh Cun adalah bukti nyata bahwa sebuah tradisi kuno dapat terus hidup dan beradaptasi di tengah zaman yang terus berubah, sekaligus tetap menjaga esensi dan maknanya yang mendalam.