Kisah Pilu SMPN 2 Galang: 2 Tahun Terombang-ambing Akibat Sengketa Lahan, Siswa dan Guru Terlunta-lunta

 


DELI SERDANG – Selama dua tahun terakhir, proses belajar mengajar di SMP Negeri 2 Galang, Deli Serdang, berlangsung dalam ketidakpastian. Polemik kepemilikan lahan dengan pihak Al-Washliyah memaksa ratusan siswa dan guru berpindah-pindah lokasi, menumpang di SMP Negeri 1 Galang dengan kondisi yang jauh dari kata layak. Situasi ini telah memicu kegelisahan mendalam di kalangan pendidik dan menjadi sorotan atas minimnya perhatian dari wakil rakyat setempat.


Sejumlah guru yang ditemui awak media pada Selasa (15/7/2025) mengungkapkan kepedihan mereka. "Kami ini guru, tentu taat pada perintah pimpinan. Tapi melihat anak-anak belajar dalam kondisi seperti ini membuat hati kami hancur," ujar Sri Wardani, didampingi Sarifah Aini Siahaan dan Masidana Siahaan, guru SMPN 2 Galang.


Perpindahan SMPN 2 Galang bermula pada Januari 2023, menyusul putusan Mahkamah Agung yang memenangkan Al-Washliyah atas sengketa lahan sekolah. Atas instruksi Dinas Pendidikan setempat, seluruh kegiatan belajar mengajar harus dikosongkan.


"Kami pindah ke SD di Desa Pisang Pala hampir setahun. Tapi akhir tahun terjadi pembacokan terhadap pekerja sekolah. Orang tua resah dan akhirnya kami direlokasi ke SMPN 1 Galang," tutur Sarifah.


Kondisi yang memprihatinkan ini diperparah dengan sikap Ketua DPRD Deli Serdang, yang dianggap tidak adil dalam menyikapi polemik ini. Para guru menyuarakan kekecewaan mendalam, merasa diabaikan selama dua tahun berpindah-pindah, namun tiba-tiba Ketua DPRD muncul saat konflik dengan Al-Washliyah mencuat.


"Ada apa dengan Ketua DPRD dan wakilnya ini? Kami juga warga Deli Serdang, tapi kenapa kami tidak dianggap? Kami kecewa. Dari awal kami terombang-ambing, beliau tidak pernah hadir. Tapi ketika ada kejadian kemarin, tiba-tiba beliau muncul. Apakah kami ini bukan warga Deli Serdang juga? Siapa yang sebenarnya terzalimi?" keluh para guru penuh keprihatinan.


Mereka menilai, kemunculan Ketua DPRD justru memperkeruh situasi dan mempertanyakan keberpihakan dewan yang seharusnya menjadi penyeimbang dan pembela rakyat tanpa diskriminasi.


Di tengah pusaran polemik, kondisi belajar di SMP Negeri 2 Galang saat ini tidak lebih baik. Mereka masuk siang, tanpa kegiatan upacara, ekstrakurikuler, atau ruang guru yang layak. Siswa harus menempuh jarak jauh, bahkan ada yang berjalan kaki dari Desa Patumbukan dan wilayah perkebunan.


"Ada siswi menangis karena harus jalan kaki cukup jauh dari kebun untuk cari kendaraan ke sekolah. Ini menyayat hati kami," tutur Masidana.


Transportasi menjadi hambatan utama. Beberapa siswa terpaksa berhenti sekolah karena tidak ada kendaraan. Kondisi ini bahkan mendorong orang tua murid membentuk aliansi untuk menjembatani komunikasi dengan para guru.


Ironisnya, di tengah polemik yang tak kunjung usai, SMPN 2 Galang hingga kini tidak memiliki kepala sekolah definitif. Hanya ada Pelaksana Kegiatan Sekolah (PKS) yang tidak memiliki wewenang formal untuk menyampaikan aspirasi ke Dinas Pendidikan.


"Kami merasa lengkap sudah penderitaan kami. Tidak ada pemimpin, tidak ada suara kami yang didengar secara struktural. Andai ada kepala sekolah, kami bisa menjelaskan kondisi kami secara resmi. Sekarang kami benar-benar sendiri," keluh mereka.


Akibat kondisi ini, jumlah siswa menurun drastis, dari lebih dari 500 orang kini tersisa kurang dari 240 siswa. Mayoritas orang tua di Patumbukan memilih menyekolahkan anak mereka ke tempat lain karena akses yang sulit.


"Kami tidak berharap banyak. Kami hanya ingin ada kepastian, di mana kami ditempatkan. Kami pun tak ingin kembali ke gedung lama, karena pasti akan terus jadi sengketa. Yang kami harapkan hanyalah tempat yang aman dan nyaman untuk belajar," pinta para guru lirih.

Para siswa pun menyuarakan hal serupa. "Kami kecewa harus pindah-pindah. Sekarang kami masuk siang, tidak pernah ada upacara atau ekstrakurikuler lagi. Sekolah kami jauh dari rumah. Teman-teman banyak yang pindah," kata salah seorang siswa dengan berlinang air mata. Ia menambahkan, "Ketua DPRD Deli Serdang itu tak layak jadi Ketua DPRD, dia pilih kasih, kami juga warga Deli Serdang Bapak DPRD."


Siswa lain juga mengungkapkan kekecewaan mendalam. "Kami cuma ingin sekolah kami kembali ke daerah Patumbukan, dan punya tempat tetap. Kami ingin belajar dengan nyaman. Kami juga sangat kecewa dengan DPRD  yang justru menambah masalah. Selama ini  enggak pernah mau peduli, kok semalam peduli amat. Ke mana aja selama ini? Kami juga siswa yang juga butuh diperhatikan," papar siswa lainnya.


Anggota DPRD Deli Serdang, Dedi Syahputra, SH, turut menyesalkan tindakan Ketua DPRD  yang secara paksa membuka segel pintu gerbang SMPN 2 Galang. Padahal, menurut Dedi, sudah ada kesepakatan untuk proses hibah atau proses lain yang tidak melanggar aturan antara Pemkab dan pihak Al-Washliyah.


"Jangan suasana yang mulai kondusif malah digoreng-goreng. Kasihan anak-anak yang jadi korban. Jadi janganlah utamakan ego yang dibungkus dengan kepedulian," tegas politisi Gerindra ini.


Dedi juga mengkritik Wakil Ketua DPRD  yang ikut menjanjikan tenda kepada siswa Al-Washliyah. Menurutnya, sikap itu menimbulkan kesan pilih kasih. "Seharusnya pimpinan dewan datang membawa solusi, bukan memercikkan api provokasi. Kalau begini, percikan api itu bisa menyebar ke mana-mana," paparnya.


Dedi menjelaskan, sebenarnya siswa Al-Washliyah bisa tidak telantar karena jarak SMPN 2 Galang dengan gedung sekolah Al-Washliyah hanya sekitar 100 meter lebih. Sesuai kesepakatan antara Dinas Pendidikan Deli Serdang dengan Ketua Pengurus Cabang (PC) Al-Washliyah Galang, gedung SMP Negeri 2 Galang dikosongkan sampai proses hibah selesai.


Hingga berita ini ditulis, Ketua DPRD Deli Serdangi, yang dikonfirmasi melalui WhatsApp, memilih bungkam.