Suara Hukum.live, KARAWANG, JAWA BARAT – PT Daiki Aluminium Industry Indonesia yang berlokasi di Kawasan Industri KIIC Karawang tengah menghadapi sorotan tajam. Setelah dugaan penolakan audiensi dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) Distrik Karawang, kini awak media juga mengalami kesulitan untuk mendapatkan konfirmasi resmi dari pihak manajemen perusahaan. Insiden ini memicu rencana GMBI untuk memohon intervensi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Karawang, yang berpotensi berdampak signifikan pada legalitas operasional dan reputasi perusahaan.
Konflik ini bermula dari upaya GMBI Karawang untuk menjalin komunikasi dan kolaborasi dengan PT Daiki. April, Kepala Divisi Nonlitigasi DPD GMBI Karawang, menjelaskan, "Kami telah mengirimkan surat resmi beberapa hari sebelumnya, lengkap dengan informasi kontak. Namun, hingga hari yang ditentukan, tidak ada tanggapan, konfirmasi, bahkan sapaan pun tidak kami terima."
Puncak kebuntuan terjadi saat perwakilan GMBI mendatangi lokasi PT Daiki. Mereka dilaporkan ditolak aksesnya oleh petugas keamanan dengan alasan tidak adanya perwakilan manajemen yang bersedia menemui. Menurut GMBI Karawang, tindakan ini tidak hanya menghambat upaya komunikasi, tetapi juga dianggap sebagai pelanggaran terhadap prinsip tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance - GCG) dan kemitraan sosial yang sehat.
Menyusul kabar penolakan GMBI, awak media berusaha mendatangi manajemen PT Daiki untuk mendapatkan konfirmasi dan memastikan pemberitaan yang berimbang. Setelah menemui petugas keamanan, pihak keamanan langsung menghubungi manajemen. Namun, awak media diberitahu bahwa untuk dapat bertemu dengan pihak manajemen, mereka harus memiliki janji atau mengirimkan surat terlebih dahulu.
Sebelumnya GMBI telah melayangkan surat,Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mengenai komitmen PT Daiki terhadap keterbukaan informasi publik, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Pasal 2 dan Pasal 3 UU KIP menjamin hak setiap orang untuk memperoleh informasi publik. Penolakan akses atau informasi tanpa dasar hukum yang jelas dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap hak fundamental ini, terutama jika informasi yang diminta berkaitan dengan kepentingan publik atau dampak operasional perusahaan.
Diduga Sikap tertutup PT Daiki ini juga memicu spekulasi mengenai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH): Keterbukaan informasi mengenai dampak lingkungan merupakan elemen krusial dalam UUPPLH. Jika penolakan audiensi ini terkait dengan pertanyaan mengenai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atau pengelolaan limbah, hal ini dapat mengindikasikan ketidakpatuhan terhadap prinsip transparansi lingkungan yang diamanatkan.
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Bangunan Gedung (PP Bangunan Gedung): Pasal 18 PP ini mensyaratkan pemilik atau pengguna bangunan gedung untuk memiliki Sertifikat Laik Fungsi (SLF). Ketertutupan informasi terkait SLF dapat memunculkan pertanyaan mengenai kelaikan dan kepatuhan bangunan gedung yang digunakan oleh PT Daiki.
Untuk memastikan keterbukaan informasi publik dapat diterima masyarakat, pihak media akan segera mengirimkan surat resmi kepada manajemen PT Daiki. Masyarakat dan pihak terkait menantikan tanggapan dan transparansi dari PT Daiki Aluminium Industry Indonesia terkait isu-isu ini.