Mahasiswa UBP Karawang Kritik Pedas Kuasa Hukum Kades Pinayungan: Dinilai Gagal Paham Hukum



 KARAWANG, Suara Hukum.com – Pernyataan kuasa hukum Kepala Desa Pinayungan yang baru-baru ini beredar di media massa menuai kritik tajam dari kalangan akademisi. Fransiskus C. Parasian, seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Buana Perjuangan (UBP) Karawang, menilai statemen tersebut tidak mencerminkan kapasitas seorang advokat yang memahami kaidah hukum secara utuh.

Dalam keterangannya kepada media pada Rabu (11/6/2025), Fransiskus menegaskan bahwa seorang advokat seyogyanya berbicara berdasarkan standar kompetensi dan perspektif hukum yang jelas.

“Seorang advokat itu ada standar kompetensinya. Bila bicara harus berdasarkan perspektif hukum, dan harus rajin membaca agar up to date. Rajin baca buku, berita, dan jurnal hukum,” ucap Fransiskus, menyayangkan sikap kuasa hukum Kades Pinayungan.

Fransiskus secara terang-terangan menyebut adanya “gagal paham” dalam statemen kuasa hukum tersebut, khususnya terkait pemahaman terhadap Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Sebagai bentuk koreksi akademis, Fransiskus menyarankan agar advokat bersangkutan membaca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 105/PUU-XXII/2024, serta mempelajari Pasal 5 juncto Pasal 1 angka 13 dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Tak hanya itu, ia juga menyoroti pentingnya memahami Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menkominfo, Jaksa Agung, dan Kapolri, yakni Nomor 229 Tahun 2021, Nomor 154 Tahun 2021, dan Nomor KB/2/VI tentang Pedoman Implementasi UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE.

“Dalam pedoman tersebut jelas disebutkan, bahwa korban dalam perkara ITE haruslah perseorangan dengan identitas jelas, bukan institusi, korporasi, profesi, atau jabatan. Fokus pemidanaan bukan pada perasaan korban, tapi pada perbuatan terdakwa yang dengan sengaja mendistribusikan atau mentransmisikan konten,” jelas Fransiskus.

Lebih lanjut, Fransiskus menegaskan bahwa pemberitaan oleh institusi pers yang merupakan kerja jurnalistik harus diselesaikan melalui mekanisme UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, bukan menggunakan Pasal 27 UU ITE.

“Untuk perkara yang berkaitan dengan pers, penyelesaiannya wajib melibatkan Dewan Pers,” tegasnya.

Pernyataan Fransiskus ini diharapkan dapat menjadi pencerahan dan koreksi bagi pihak-pihak yang berkecimpung dalam dunia hukum, khususnya dalam menyikapi persoalan yang melibatkan kebebasan pers dan regulasi informasi. (Chika)