Suara Hukum. Live, KOTAWARINGIN TIMUR – Sebuah video yang memperlihatkan Kapolsek Mentaya Hulu, Ipda Nor Ikhsan, membentak sejumlah pengacara mendadak viral di media sosial. Insiden ini terjadi saat para pengacara mendampingi warga dalam aksi penutupan lahan sengketa dengan PT Tapian Nadenggan di Desa Pantap, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah.
Video yang diunggah oleh akun Facebook Sin Yin telah ditonton lebih dari 94 ribu kali dan memicu reaksi keras dari warganet. Dalam rekaman tersebut, Kapolsek terlihat melarang aksi warga dengan nada tinggi, "Kalau kalian pengacara, berjuangnya di pengadilan, bukan di lapangan!"
Versi Polisi dan Temuan Senjata Tajam
Menanggapi video yang beredar, Ipda Nor Ikhsan memberikan klarifikasi. Ia menjelaskan bahwa video tersebut hanya potongan dari situasi yang lebih kompleks. Menurutnya, pada Kamis, 28 Agustus 2025, sekelompok orang datang untuk menguasai lahan yang statusnya masih dalam sengketa.
"Sudah beberapa kali mediasi tapi tidak ada kesepakatan. Kami bersama perangkat desa dan tokoh masyarakat mengimbau agar kegiatan dihentikan karena berpotensi mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat," ujar Ikhsan pada Jumat, 29 Agustus 2025.
Ia menambahkan, imbauan dilakukan secara persuasif, namun massa tetap bertahan. Situasi ini dinilai memicu keresahan, baik bagi warga setempat maupun karyawan perusahaan yang hendak pulang kerja. Pihak kepolisian juga mengklaim telah menemukan sejumlah senjata tajam di lokasi, termasuk mandau, busur, panah, dan pisau kecil.
"Kami tidak memberi ruang adanya aksi premanisme di wilayah hukum Polsek Mentaya Hulu. Palu hakim yang memutuskan, bukan aksi di lapangan," tegas Ikhsan, menekankan bahwa penyelesaian sengketa lahan harus melalui jalur hukum perdata.
Di sisi lain, kuasa hukum warga, Ida Rosiana Elisya dari ACC Law Firm, membenarkan adanya aksi penutupan lahan yang dilakukan kliennya, Hartani, bersama warga. Ida menuding PT Tapian Nadenggan telah menguasai 179 hektare lahan milik kliennya sejak 2006 tanpa ganti rugi yang layak.
"Tawaran Rp15 juta dari perusahaan untuk 179 hektare itu tidak masuk akal. Kami sudah tiga kali melayangkan somasi sejak November 2024, tapi tidak ada penyelesaian," kata Ida.
Ida juga menilai sikap aparat di lapangan cenderung berpihak kepada perusahaan. Ia mengklaim bahwa pihak perusahaan juga membawa senjata tajam, namun tidak ditindak oleh polisi. "Kami diintimidasi, padahal ada pihak perusahaan yang membawa senjata tajam, tapi tidak ditindak. Polisi seharusnya netral," tegasnya.
Kasus sengketa lahan antara warga dan PT Tapian Nadenggan telah berlangsung lama tanpa titik temu. Aksi penutupan lahan ini terjadi berbarengan dengan unjuk rasa mahasiswa di Jakarta yang juga menuntut keadilan terhadap perusahaan tersebut.
Hingga saat ini, polemik masih terus berlanjut. Publik kini menanti langkah hukum selanjutnya, apakah warga akan membawa perkara ini ke meja hijau atau justru eskalasi konflik di lapangan akan semakin memanas.
Penulis : Tamrin