Bukan Sekadar Sekam, Ini Kisah Kredibilitas di Balik Angka Ratusan Juta di Karawang



Suara Hukum.Live,  KARAWANG - Di sebuah sudut kota industri, di Karawang, gema pertanyaan publik menguar, menggantung di udara seperti debu yang baru terangkat. Pertanyaan itu sederhana, namun menyimpan bobot yang berat: Mengapa taman di median Jalan Interchange Tol Karawang Barat ditaburi sekam? Dan mengapa dana yang dialokasikan mencapai Rp 781 juta?


Sejatinya, ini bukan sekadar soal sekam. Ini adalah narasi tentang uang rakyat, kepercayaan publik, dan sebuah dialog yang meruntuhkan prasangka.


Pada Selasa, 9 September 2025, suara kritis datang dari DPD LSM GMBI Distrik Karawang. April, Kepala Kesekretariatan GMBI, tidak memilih untuk berteriak di jalanan. Ia memilih untuk datang, menanyakan, dan mencari jawaban. Sikap ini bukan sekadar perlawanan, melainkan sebuah undangan untuk berdialog.


Di kantor Dinas Lingkungan Hidup, April disambut hangat oleh Dede Pramiadi, Kepala Bidang Pelestarian Lingkungan Hidup dan Keanekaragaman Hayati. Pertemuan itu bukanlah arena debat, melainkan meja bundar tempat data berbicara lebih keras dari asumsi.


Dede menjelaskan bahwa sekam itu bukanlah pemborosan, melainkan bagian dari sebuah proses. Ia adalah “pembuka jalan” bagi pemuliaan tanah. Sekam, bersama dengan kompos, pupuk kandang, dan sekam bakar, adalah nutrisi yang disiapkan untuk menghidupkan kembali unsur hara di median jalan. Ini adalah investasi jangka panjang, bukan sekadar solusi instan.


Namun, isu terbesarnya adalah angka Rp 781 juta. Dede dengan lugas meluruskan, angka itu hanyalah pagu anggaran. Nilai pekerjaan sesungguhnya justru lebih rendah, sekitar Rp 600 juta, sebuah fakta yang sudah tercantum jelas di papan proyek. Ini adalah bukti nyata bahwa keterbukaan informasi bukanlah slogan kosong, melainkan praktik yang dijalankan.


Lebih dari itu, Dede merinci apa saja yang termasuk dalam pekerjaan tersebut: penanaman sekitar 31 ribu bibit tanaman hias. Mulai dari Pandan Afrika Kuning, Wera Merah, Heliconia, hingga Alamanda Rambat. Tentu, ini bukan hanya soal menabur sekam, melainkan menciptakan sebuah ekosistem hijau yang akan mempercantik wajah Karawang.


Di akhir pertemuan, Dede tidak hanya menyampaikan data, ia juga menyampaikan sebuah ajakan: untuk bersama-sama menjaga dan merawat aset publik ini. Ini adalah seruan kolaborasi, bukan otoritas.


Pertemuan antara GMBI dan Dinas Lingkungan Hidup di Karawang memberikan pelajaran berharga. Ini adalah contoh bagaimana dialog bisa menjadi jembatan yang menghubungkan dua sisi yang berbeda: pihak yang mengawasi dan pihak yang melaksanakan.


April menegaskan, "Kami hadir bukan untuk mencari siapa salah, tapi untuk memastikan apa yang bisa diperbaiki, apa yang bisa dijalankan bersama.” Pernyataan ini adalah kunci. Ini adalah pergeseran dari mentalitas saling menyalahkan ke mentalitas kolaborasi.


Pada akhirnya, yang dipertaruhkan bukan sekadar Rp 781 juta, bukan pula sekadar sekam yang akan hilang ditiup angin. Yang dipertaruhkan adalah kepercayaan publik. Dan di Karawang, pada hari itu, kita melihat bagaimana kepercayaan itu dibangun: bukan dengan janji manis, tapi dengan data yang transparan, dialog yang tulus, dan komitmen untuk menjawab setiap pertanyaan.


Karena sekali kepercayaan itu runtuh, tidak ada pupuk dan tidak ada kompos yang bisa menumbuhkannya kembali.