Suara Hukum.Live, Karawang - Di balik janji-janji manis tentang kemandirian desa, muncul bayangan gelap yang menggerogoti asa. Sebuah misteri keuangan yang menyelimuti Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Lemah Karya di Kecamatan Tempuran, Karawang, kini terkuak, meninggalkan jejak pertanyaan tentang transparansi dan akuntabilitas. Anggaran sebesar Rp120 juta yang seharusnya menjadi lokomotif kesejahteraan masyarakat, kini seolah menguap ditelan bumi.
Kecurigaan ini bermula dari investigasi Dewan Pimpinan Daerah (DPD) LSM GMBI Distrik Karawang. Abay, Ketua Pokja Sukaratu dari LSM GMBI, mencoba mengonfirmasi langsung kepada Kepala Desa Lemah Karya, Ibu Anita Suryani. Namun, alih-alih mendapatkan penjelasan, ia justru disambut dengan sikap menghindar. "Kami tidak mencari siapa yang salah, tapi kami mencari apa yang bisa diperbaiki," ujar Abay, mencoba membuka ruang dialog yang justru tertutup rapat.
Sikap tertutup ini justru menjadi sinyal kuat adanya kejanggalan. Yono, Direktur BUMDes, akhirnya memecah keheningan. Ia mengungkapkan bahwa anggaran tersebut memang sempat ditransfer, namun anehnya, langsung ditarik kembali oleh sang kepala desa. Yono merasa dirinya hanya dijadikan "tameng" dalam kasus ini. Ia menambahkan, uang itu disebut digunakan untuk mengontrak lahan sawah seluas 5 hektare. Namun, ironisnya, hasil dari sawah tersebut tidak pernah dinikmati oleh warga, apalagi untuk program ketahanan pangan.
Kasus di Lemah Karya bukan sekadar soal uang. Ini adalah tentang hilangnya kepercayaan yang menghantam fondasi tata kelola desa. Sebagaimana ditegaskan oleh Abay, tujuan utama pendirian BUMDes adalah memberdayakan ekonomi desa. Namun, kenyataan di lapangan sering kali berbeda, menciptakan celah di mana niat baik bisa berbelok menjadi "proyek pribadi."
"Sistem seringkali tidak memadai untuk mendeteksi hal-hal yang tampak rapi di atas kertas, tapi rapuh di lapangan," ungkap Abay. Pernyataannya menyoroti kerapuhan sistem pengawasan yang membuat BUMDes, yang seharusnya menjadi alat gotong royong, berpotensi menjadi ajang penyalahgunaan wewenang.
LSM GMBI hadir sebagai jembatan kontrol sosial, memastikan janji yang tercantum di atas kertas tidak hanya menjadi ilusi. Peristiwa ini adalah cermin buram yang menunjukkan pentingnya perbaikan tata kelola desa. Ketika kepala desa enggan berdialog dan anggaran lenyap tanpa jejak, pertanyaan besar muncul: di mana letak akuntabilitas dan transparansi?
Abay menegaskan bahwa langkah GMBI adalah bentuk kontrol sosial partisipatif, bukan serangan. Ini adalah ajakan untuk berbenah. Karena pada akhirnya, kesejahteraan masyarakat adalah satu-satunya tujuan yang harus diwujudkan, tidak hanya di atas kertas, tetapi juga dalam tindakan nyata.